Selasa, 21 Juli 2009

Sajak sebutir tanah merah

sebutir tanah merah masih sedikit tersisa di baju dan kerudung hitammu. Padahal dua minggu lalu baru saja kau cuci di tepian kali; meski memang sedikit kotor.Tadi pagi sepiring nasi dari tetangga yang baik hati; tak penuh memang; hanya kau pandangi penuh heran. Sepanjang hari yang kau makan hanya lamunan.

Si sulung meringis. Mau menangis bersama gerimis yang turun sejak kemarin sore. Tapi matanya sudah terlalu sembab. Terlalu banyak sebab.

Kau tengadah. Mungkin memohon anugerah. Sejak tengah malam hingga celoteh daun pisang mengusik minta ditebang. Kau memang ayu meski matamu tak lagi peduli waktu. Maafkan aku wahai cintaku

Kemarin sore sehabis maghrib, si bungsu menangis. Dia lapar. Begitu kami mengartikannya. Lalu diam. Begitu hening. Mungkin tertidur begitu lelap

“Tinggal kita berdua yang masih terjaga sayang”
begitu katamu malam itu

“ya, Dan seekor kucing dengan kepala ikan asin terpojok di dinding”
kataku

6 komentar:

  1. Salam Cinta Damai dan Kasih Sayang ‘tuk Sahabatku

    BalasHapus
  2. eeee... pertamaaaaaaxxxxxxxxxzzzz

    BalasHapus
  3. Sedikit bingung mas dengan bahasanya tapi ya ngerti dikit2 maksudnya sih

    BalasHapus
  4. hm... tentang kemiskinankah?

    *mikir*

    nice mas :D, aku suka kata-katanya, pengen bisa nulis kaya gitu... ^^

    BalasHapus
  5. pujangga... bisa saja merangkai kata...

    BalasHapus
  6. Salam kenal,,mas dpt salam dari pak wandi.

    BalasHapus